Kisah Bunga di Tepi Jalan By Kopma Unnes


Aku masih disini hanya sendiri. Matahari masih memancarkan sinarnya...semakin lama semakin panas. Di hadapanku pemandangannya masih sama. Hanya sekumpulan orang yang lalu lalang. Seolah mereka memiliki beribu kesibukan sendiri yang tak akan ada habisnya. Bahkan hingga matahari bosan menemani hari mereka dan berganti shift dengan bulan..mereka tak hentinya berlalu lalang dengan berbagai macam benda yang mereka kenakan pada badan mereka. Jenuh? Kadang! Aku bahkan pernah memiliki keinginan untuk berteriak, menjerit dan mengganti pemandangan di depanku. Tapi siapakah aku?  Aku hanya sekuntum bunga, begitu orang mungkin akan memanggilku. Mungkin? Ya..bahkan aku tahu bahwa aku adalah bunga saat aku masih kuncup dulu.
***                 
Tampak seorang di dalam logam besar, beroda empat dan dapat berlari dengan kencanganya..aku terheran, kok ada benda yang dapat berlari secepat itu. Tiba- tiba benda itu terhenti  nyaris menginjakku. Orang yang ada di dalamnya keluar, terbirit-birit..berlari menuju semak belukar di seberang jalan. Tiba-tiba ada yang bertanya ‘’bunga apakah kamu ?’’. Aku tersadar suara itu berasal dari bagian terbuka di belakang logam besar beroda empat itu. Wajahnya tertutupi kelopak dan mahkota yang banyak dan putih. Cantik sekali..berbeda denganku walaupun sama-sama memiliki mahkota putih yang belum berkembang. Dengan ragu-ragu aku balik bertanya :
“Kau bertanya padaku ?’’
“Tentu. Bunga apakah kamu ?’’
“Bunga ?  Aku adalah bunga?”
“Tentu saja kita itu bunga(katanya sambil tersenyum geli,antara heran bercampur bingung), aku ini bunga mawar putih. Dan kamu?” (dia bertanya kembali)
Sejak saat itulah aku tahu bahwa aku adalah bunga, aku adalah tumbuhan. Walaupun aku tak tahu bunga apakah aku. Mungkin orang pun tak berminat untuk menamaiku. Entahlah...aku tak peduli! Dari perbincanganku dengan si mawar putih cantik itu aku belajar banyak hal, aku jadi tahu logam beroda empat itu mobil. Aku sejak saat itu belajar, hampir setiap hari aku mendengarkan pembicaraan banyak orang yang berlalu lalang itu. Aku tahu saat orang tertawa riang dia bahagia, saat orang berwajah murung bahkan menangis artinya dia sedih. Itu semua adalah perasaan. Belakangan aku jadi tahu seperti apa benci, marah dan sayang. Yang masih tak kumengerti sampai sekarang adalah, apakah aku bisa berguna? Aku tidak seperti hujan yang menyegarkan aku dan tumbuhan lainnya setelah seharian matahari memancarkan sinarnya. Aku juga heran, kenapa ada orang merutuki hujan yang menyegarkanku. Aku juga tidak seperti semak belukar di seberang jalan yang kadang orang keluar dari mobil dengan buru-buru, bersembunyi di balik mereka dan kembali ke mobil dengan wajah lega. Bahkan hewan besar berkaki empat, yang akhirnya ku tahu bernama sapi sering memakan sebagian mereka. Tidak juga seperti cacing yang kadang menyembul dari tanah, saat kami mengobrol dia mengatakan bahwa dia bisa menyuburkan tanah. Yah.. yang penting aku tidak mengganggu kehidupan yang lain, begitulah pikirku.
Suatu hari, saat bulan menggantikan matahari aku melihat dua orang berjalan sempoyongan sambil berangkulan. Oh..satu laki- laki dan satu perempuan rupanya. Laki-laki itu kemudian membuang bungkusan ke kotak tak jauh dari tempatku, tempat itu bernama tempat sampah. Bahkan sempat mampir dan bersembunyi di semak belukar. Si wanita itu menjadi sedikit gusar dan berkata, “Ayo cepat, sayang! Nanti kita ketahuan.” Laki- laki itu hanya tertawa, setelah selesai menunaikan kebutuhannya di semak belukar dia merangkul kembali wanita itu dan melanjutkan berjalan entah ke mana dengan sempoyongan. Esok paginya kulihat dari kejauhan mereka berlari dengan wajah pucat. Di belakang mereka ada sekerumunan orang berlari, mengejar mereka dengan wajah garang. Belum pernah kulihat pemandangan seperti ini sebelumnya. Di antara kerumunan itu ada yang berlari dengan sangat cepat, hingga dapat mengejar dua orang itu dan berhasil menarik tangan wanita itu. Laki-laki pasangannya menghentikan larinya, mencoba menarik tangan wanita itu dari sisi yang lain. Gerombolan orang di belakang mereka semakin mempercepat larinya, sehingga dua orang yang kulihat semalam di kerubungi kumpulan orang berbentuk lingkaran besar. Kejar-kejaran itu berhenti tepat di depanku. Aku bisa mendengar jelas mereka bercakap-cakap.
“Dasar laki-laki tak tahu diri! Sudah mencuri, berzina pula.”kata orang yang berhasil menarik tangan wanita itu.
“Iya..dasar! Aku kecewa padamu, Shin. Bagaimana mungkin kau mengkhianati aku untuk seorang pencuri?”kata laki-laki berkumis tipis. Dahinya berkedut, garang. Tapi nada suaranya terlihat sedih.
“Sudahlah, San. Ceraikan saja istrimu itu.”kata laki-laki di sebelah orang tadi sambil menepuk bahunya.
“Aku tahu kau itu pengangguran. Tak punya uang untuk makan. Tapi apa harus dengan mengambil uangku?” tanya laki-laki gemuk di sebelahnya lagi.
“Ironisnya, uangmu itu di curi untuk minum dan mabuk!” timpal wanita kurus kepada laki-laki gemuk itu.
 “Sudah, kita pukuli saja mereka!” timpal yang lain membuat wajah dua orang di tengah lingkaran itu semakin pucat. Tapi tiba- tiba laki-laki berpeci angkat bicara:
“Kita jangan main hakim sendiri. Biar kita selesaikan saja di kantor polisi”.
Orang–orang kemudian mengikuti si laki-laki berpeci yang berjalan di depan sambil menggiring dua orang yang tertangkap tadi. Berjalan menuju arah berlawanan, jauh dan jauh sampai aku tidak bisa melihatnya lagi. Aku tak mengerti seluruhnya. Tapi aku tahu laki-laki dan wanita yang tertangkap itu bersalah hingga membuat orang-orang itu marah. Bahkan hingga mengambil sesuatu milik orang lain untuk minum. Aku tertawa, bagaimana mungkin laki-laki yang bisa bergerak seperti apapun yang dia mau bisa makan dengan cara yang salah. Tidakkah dia berpikir untuk mencari makan sendiri? Aku yang tidak bisa berpindah tempat pun mampu melakukannya. Bukankah dia memiliki pilihan? Kenapa dia mengambil pilihan untuk mengganggu kehidupan orang lain? Untuk makan pula? Hahahaha....lihatlah, bahkan orang itu jauh tidak berguna daripada aku.
Sorenya, aku melihat dua orang wanita. Sepertinya mereka ibu dan anak. Aku pernah melihat pemandangan yang serupa dengan penampilan pakaian yang berbeda. Mereka berjalan menuju tempat sampah. Kadang aku heran dengan orang-orang seperti mereka. Mereka mengais sesuatu untuk dimasukkan dalam kantong yang mereka bawa. Apa mereka mengais seperti ayam untuk mencari makan? Aku pernah melihat ayam mengais tempat sampah itu untuk makan. Penampilan dua orang itu pun buruk, tidak seperti orang kebanyakan. Aku tak tahu kenapa. Dan aku pun tak bisa bertanya pada mereka. Anak itu merajuk meminta makan. Tapi si ibu memintanya untuk sabar. Anak itu hampir menangis sampai tiba-tiba anak itu memandangiku. Membuatku sedikit gugup. Anak itu kemudian berjalan mendekatiku, benar-benar dekat hingga aku bisa tahu bahwa bulir matanya bening sekali. Dia tersenyum riang, dia terus memandangiku. Kemudian dia memanggil ibunya, membuat si ibu juga mendekatiku.
“Ibu, bunga ini cantik ya? Boleh aku membawanya pulang untuk ditanam?”tanya si kecil yang membuat si ibu hanya tersenyum. Dia mengeluarkan botol bening kecil dari dalam kantung, memasukkan tanah ke dalamnya kemudian mencabutku dari dalam tanah. Sakit tentu saja, tapi itu hanya sebentar. Dia memasukkanku ke dalam botol bening berisi tanah tersebut dan memberikannya pada si anak. Dan tiba- tiba membuatku merasa bahagia dan membuatku merasa berguna. Mungkin mulai saat ini pemandangan di depanku akan berubah. Dan mungkin yang akan kupelajari juga berbeda.
Ah...aku jadi ingat kata-kata si mawar putih yang cantik, “Kita itu diciptakan bukan untuk sesuatu tanpa makna atau sia-sia. Meskipun kita tidak tahu sekarang, suatu saat nanti juga akan tahu. Jangan pernah merasa bukan apa-apa.” Aku juga jadi teringat akan orang-orang yang berjalan-jalan di depanku dengan murung dan merutuki dirinya tak berguna. Seandainya saja aku bisa bicara pada mereka, ingin sekali aku mengungkapkan hal yang sama. Mungkin sedikit berbeda karena mereka dapat bergerak, “jangan pernah merasa tak berguna. Kau bisa berbuat apa saja untuk menjadi orang yang berguna. Itu tinggal pilihan kalian.”


by: Mardina Dewi Widiyati (ast. sekretaris) 

Komentar