MERUBAH SEKOLAH MENJADI PUSAT PENGEMBANGAN ENTREPRENEUR

Oleh : Haryono Suyono

Minggu depan Yayasan Damandiri, yang didirikan pada tanggal 15 Januari 1996, akan genap berusia 13 tahun. Dalam rangkaian usaha memotong rantai kemiskinan, dengan ijin Menteri Pendidikan Nasional, sejak empat tahun yang lalu, telah berusaha secara bertahap mengembangkan beberapa sekolah menengah atas menjadi pusat pengembangan jiwa entreprenur bagi guru dan siswa-siswanya, utamanya anak keluarga kurang mampu. Upaya pengembangan jiwa entrepreneur itu dilakukan tanpa mengorbankan peranan dan fungsi sekolah sebagai pusat pengembangan anak didik yang cerdas dan mampu menyelesaikan tugas akademisnya dengan hasil yang gemilang.

Ada beberapa langkah penting yang dilakukan secara bersamaan. Pada tingkat yang pertama Yayasan Damandiri mengembangkan kerjasama dengan sekitar 70 Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia, utamanya dengan Lembaga Pengabdian Masyarakatnya. Setiap Lembaga Pengabdian Masyarakat diajak untuk membina dua atau tiga sekolah menengah atas pilihannya, atau atas pilihan Bupati atau Walikota yang bersangkutan. Disyarakatkan agar SMA yang dipilih bukan SMA terbaik, atau sekolah teladan, tetapi justru sekolah yang rankingnya nomor tiga, empat atau lima di kota atau kabupaten yang bersangkutan.

Langkah berikutnya setiap SMA yang dipilih, dengan persetujuan Dinas Pendidikan setempat, diharapkan memilih sepuluh guru yang mengasuh mata pelajaran pokok, yang diujikan dalam UAN, bersama kepala sekolahnya, mengadakan kunjungan dan magang pada sekolah lain yang dianggap bisa memberikan nilai tambah, baik dalam bidang akademis, maupun dalam kegiatan lainnya. Pilihan yang dibahas dengan rekan-rekan dari LPM Perguruan Tinggi pembinanya itu bisa di kota yang sama, atau kota lain, atau bahkan di provinsi lain. Kepala Sekolah dan guru-guru tersebut mendapat bantuan dana dari Yayasan Damandiri sekedarnya untuk melakukan “magang”, melihat dan mengamati, kalau perlu, mengadakan pendalaman interview dengan rekan-rekan yang mereka kunjungi. Secara sederhana mereka mengikuti “studi banding”. Dalam program ini diutamakan pengamatan bagaimana rekan-rekan guru dan Kepala Sekolah di sekolah yang dianggap “hebat” itu meluluskan anak didik dengan nilai yang bagus, mempunyai banyak kegiatan ekstra kurikuler, sekolahnya maju dalam bidang olah raga, sukses dalam banyak kegiatan serta menjadi sekolah favorit di daerahnya. Karena sifatnya pengamatan, diharapkan Kepala Sekolah dan para guru yang mengikuti program tersebut selama satu minggu sampai satu bulan, akan memperoleh manfaat langsung yang luar biasa.

Disamping ajakan untuk magang tersebut perguruan tinggi yang bersangkutan secara khusus menambahkan seminar atau pelajaran tambahan tentang mata pelajaran penting seperti matematika, bahasa dan materi-materi yang dianggap penting untuk menyegarkan pengetahuan guru-guru dari sekolah terpilih tersebut. Penceramah atau pengajarnya berasal dari perguruan tinggi atau dari rekan-rekan guru yang dianggap teladan sehingga bisa memberikan nilai tambah dalam bidang akademis.

Kepada para guru terpilih juga diberikan bekal pengetahuan tentang ekstra kurikuler serta anjuran untuk mengembangkan kegiatan yang umumnya mengantar sekolah-sekolah favorit yang dianggap mendongkrak mutu akademis serta memicu dan memacu semangat belajar anak-anak didiknya, utamanya anak keluarga kurang mampu. Tetapi karena sifat usaha ini terbuka, dalam prakteknya kegiatan para guru dan Kepala Sekolah setelah mengikuti program ini terbuka untuk seluruh siswa, tidak terbatas pada pelajar dari anak keluarga kurang mampu. Contoh kegiatan yang dianjurkan adalah pengembangan Klub Bahasa Inggris, Klub Matematika, dan Klub Bahasa Indonesia di sekolah. Atau kegiatan ekstra yang lebih lama setelah jam sekolah untuk melatih anak-anak mengikuti ujian akhir nasional didasarkan pada penguasaan soal-soal yang pernah diberikan pada masa sebelumnya.

Disamping peningkatan mutu dalam bidang akademis, setiap tahun setiap sekolah dipilih 20 (duapuluh) anak dari keluarga kurang mampu untuk mengikuti ekstra kurikuler pelatihan dalam bidang entrepreneur, yaitu dalam bidang ekonomi sederhana. Ada berbagai model yang dikembangkan. Salah satu modelnya adalah pelatihan dalam kelas kepada anak-anak terpilih tersebut. Pembimbingnya beraneka ragam sesuai dengan kesepakatan antara Kepala Sekolah dan Pembimbing dari LPM setempat. Kadang-kadang diundang pengusaha sederhana tetapi sangat berhasil dari daerah tersebut. Ada kalanya diundang guru yang berasal dari SMK setempat yang biasa mengajar mata pelajaran ketrampilan seperti tata boga, menjahit dan lainnya. Pelatihan ketrampilan itu mementingkan penggunaan dan pengolahan bahan baku yang berasala dari daerah yang bersangkutan. Idealnya mengajarkan dan menanamkan jiwa wirausaha atau entrepreneur kepada para siswa yang sederhana itu. Karena program ini biasanya menarik, tidak jarang diikuti anak-anak lain yang berminat biarpun orang tua mereka tidak tergolong keluarga kurang mampu.

Disamping pelatihan di kelas, para siswa terpilih diberi kesempatan praktek magang pada pengusaha yang mempunyai kepedulian terhadap anak-anak muda tersebut. Sebagai insentif pengusaha yang dititipi diberi pinjaman modal tanpa bunga untuk setiap anak sekitar Rp. 500.000,-. Setiap pengusaha mikro atau kecil, kalau dititipi sekitar 10 siswa yang dibinanya secara bergilir, memperoleh tambahan modal sebagai pinjaman tanpa bunga sekitar Rp. 5 juta. Cara ini dianggap menguntungkan semua pihak.

Disamping itu, ada kalanya beberapa siswa dengan bimbingan guru membuka usaha bersama seperti pembuatan kue, menjahit pakaian atau usaha lainnya, yang produknya dijual setelah pulang sekolah atau dikelola bersama orang tua mereka. Guru-guru dan mahasiswa dari LPM pendamping biasanya membantu usaha kreatip itu. Bimbingan entrepreneur yang telah berlangsung hampir empat tahun ini ternyata memberi sumbangan memotong rantai kemiskinan. (Prof. Dr. Haryono Suyono, www.haryono.com).


Komentar