MEMBANGUN BUDAYA ENTREPRENEUR

Oleh : Haryono Suyono


Pada waktu para Caleg sedang bekerja keras mempersiapkan kampanye agar disenangi dan dicontreng dalam pilihan anggota legislatif awal bulan depan, hari Senin lalu para entrepreneur senior berkumpul memikirkan cara yang paling efektif untuk membantu rakyat banyak dengan menyuntikkan jiwa entrepreneur, atau entrepreneurship secara luas kepada anak bangsa di seluruh Indonesia. Para entrepreneur senior itu, Ibu Dr. Martha Tilaar (72) yang bergerak dalam bisnis kecantikan dan Prof. Dr. Haryono Suyono (71) yang bergerak dalam bidang sosial budaya, pemberdayaan keluarga dan masyarakat, diundang oleh Dr. Ir. Ciputra (77 tahun) begawan entrepreneur dengan tiga usahanya yang sangat sukses dalam bidang properti, untuk bersama-sama menggalang kekuatan guna dipersembahkan kepada usaha bersama membangun budaya entrepreneur di Indonesia.

Ketiganya percaya bahwa kalau abad lalu dunia dilanda nasionalisme, demokratisasi, dan hak-hak azasi manusia. Abad ke 21 ini dunia harus dikembangkan menjadi ajang bangkitnya entrepreneur yang berjiwa sosial. Suatu dunia yang manusianya keranjingan mengembangkan inovasi dan mempunyai vision yang secara ikhlas diabdikan untuk sebesar-besar kesejahteraan keluarga dan bangsanya. Nasionalisme dan demokratisasi yang memungkinkan bangsa-bangsa bersaing secara bebas dengan mengutamakan keunggulan komparatif, daya saing dan daya juang yang tinggi perlu segera dilengkapi dengan jiwa entrepreneurship agar bukan kesengsaraan yang kita perebutkan, tetapi kita bangun insan-insan dan keluarga yang berkualitas dan dinamik yang berjuang untuk pemerataan kesejahteraan yang berkeadilan.

Biarpun upaya yang digagas tersebut tidak mudah, tetapi pengembangan jiwa dan peran entrepreneur diharapkan bisa mengubah “rongsongan” atau “loyang” menjadi emas, yang nilainya tinggi dan laku jual serta menguntungkan. Dalam masyarakat yang jiwa Pancasilanya lebih digalakkan akan terangsang bahwa keuntungan itu tidak akan dinikmati oleh pemiliknya, tetapi akan membuat lingkungan dan anggota masyarakat lainnya ikut menikmati. Kegiatan itu akan memotong rantai kemiskinan bukan karena pemberian, tetapi karena perjuangan yang disertai kerja keras, semangat baja, pantang mundur dan tidak mudah menyerah karena hambatan. Bahkan, jiwa entrepreneur sejati diharapkan akan mengubah hambatan menjadi peluang yang menantang. Keluarga dan penduduk yang nrimo akan berubah pandangan, akan berubah mindsetnya, bahwa sesuatu yang negatip belum tentu selamanya negatip dan harus dilenyapkan dari muka bumi.

Para pemulung yang dengan sabar mengorek sampah, bisa saja pada suatu hari menjadi innovator yang menemukan sesuatu dan mengubahnya menjadi kebutuhan manusia yang nilainya tinggi dan bisa mengantar keluarga dan bangsanya bertambah sejahtera. Seorang ibu rumah tangga yang selama ini disisihkan dari angkatan kerja karena “hanya” mengasuh anak, di dapur dan masak, pada suatu hari, kalau dikembangkan menjadi insan yang berjiwa entrepreneurship, bisa menjadi penemu innovasi yang bisa memenuhi idaman dan kebutuhan bangsa-bangsa di masa depan.

Pertemuan para entrepreneur itu ditandai dengan penanda tanganan kerjasama ke tiga entrepreneur itu, dimana masing-masing mempunyai lembaga dan jaringan dengan berbagai kegiatan yang bervariasi. Peristiwa itu disaksikan oleh tokoh-tokoh yang cukup terkenal seperti Dr. Dino Pati Jalal, serta banyak kalangan yang luas, perguruan tinggi, media massa, serta intelektual yang namanya sering muncul memberi komentar dan pendapat yang disimak dengan penuh perhatian oleh masyarakat luas. Salah satu entrepreneur muda yang dihadirkan adalah Anisa, seseorang ibu sederhana dari pedesaan di Kota Gede, Yogyakarta, yang semula hidup sederhana di desanya. Dengan sentuhan dan pendampingan sederhana, dari seorang yang oleh banyak kalangan dikategorikan nrimo dan desanin, Anisa berubah menjadi pengguna IT, tehnologi modern internet dan membuat situs untuk menjual pakaian Muslim melewati batas-batas antar bangsa dengan berhasil. Omset yang semula hanya Rp. 20 juta melompat menjadi empat kali lipat hanya dalam waktu enam bulan.

Kasus serupa dilaporkan cukup banyak dari sekitar 400.000 kelompok dan perorangan yang dewasa ini sedang dikembangkan dan didampingi oleh Yayasan Damandiri bersama sekitar 100 Pemerintah Kabupaten/Kota, 68 LPM Perguruan Tinggi, 200 SMA di 100 kabupaten/kota, Bank Bukopin serta Bank Pembangunan Daerah (BPD) di seluruh Indonesia. Kasus-kasus keberhasilan itu, menurut tiga entrepreneur yang piawai tersebut, tidak boleh menjadi monopoli dari segelintir yang berhasil dan sedang menikmati keberhasilannya. Di negara Pancasila yang mengamanatkan segala sesuatu harus diabdikan untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat, keberhasilan itu harus segera dibagi kepada jutaan rakyat miskin, tetapi sangat nrimo, diam, atau tidak tahu bahwa di sekitarnya ada banyak sekali loyang yang dengan sentuhan sedikit saja bisa diubah menjadi emas yang dibutuhkan oleh dunia sampai akhir jaman. Kebutuhan yang mungkin saja melewati abad ini, bahkan oleh saudara-saudara kita yang mungkin masih tersembunyi di luar tata surya, di planet yang sekarang masih belum terjangkau.

Kerjasama antara tiga piawai senior dan lembaganya itu diharapkan akan menjadi penyejuk dari hiruk pikuknya kampanye untuk memilih anggota legislatif atau bahkan dalam kampanye Presiden dan Wakil Presiden. Karena itu, salam sambutannya malam itu, Prof. Haryono mengajak ketiga tokoh itu menggerakkan Political Commitment agar upaya besar membangun budaya entrepreneur di tanah air ini memberi inspirasi para tokoh politik untuk ikut mengisi kampanyenya dengan tema perjuangan membangun budaya entrepreneur sama gigihnya dibanding perjuangan merebut kursi untuk kedudukan politik yang dicita-citakannya. Insya Allah. (Prof. Dr. Haryono Suyono, mantan Menko Kesra dan Taskin, www.haryono.com).


Komentar